• Survei tahunan ke-8 tentang risiko bisnis teratas mencatat partisipasi 2.415 pakar dari 86 negara, termasuk Korea Selatan
  • Business Interruption merupakan risiko teratas lagi, diikuti oleh insiden Cyber
  • Edisi 2019 melihat pendatang baru di top 10 lokal: Resiko lingkungan dan hilangnya reputasi atau nilai merek

SEOUL, KOREA SELATAN – Media OutReach – 21 Februari 2019 – Business interruption (BI) akan menjadi risiko bisnis teratas di Korea Selatan tahun ini dengan perusahaan semakin khawatir tentang skenario Business interruption yang lebih beragam dan kompleks dengan kenaikan biaya, menurut Barometer tahunan Risiko Allianz yang kedelapan. Diterbitkan oleh Allianz Global Corporate & Speciality (AGCS), laporan 2019 didasarkan pada wawasan 2.415 pakar risiko di 86 negara, termasuk Korea Selatan.

Di Korea Selatan, BI (45% tanggapan) tetap menjadi risiko teratas di depan Cyber (33% tanggapan). Menempati posisi tiga adalah teknologi baru (28% dari tanggapan), yang naik dari # 5 tahun lalu.

Ancaman BI terus berkembang

Bisnis Korea Selatan sangat prihatin tentang dampak BI karena skenario potensial menjadi semakin beragam dan kompleks dalam ekonomi yang terhubung secara global, termasuk gangguan pada sistem inti IT, penarikan kembali produk atau masalah kualitas, terorisme atau kegaduhan politik atau polusi lingkungan. Asia dan Korea Selatan, berpotensi terkena kerugian business interruption karena pertumbuhan ekonomi dan konsentrasi pemasok.Karena manufaktur dan layanan outsourcing dimigrasikan ke negara-negara di kawasan ini, demikian pula klaim-klaim besar.

Demikian pula, pada tahun ketujuh berjalan, BI tetap menjadi ancaman utama bagi bisnis secara global dan regional, peringkat teratas di negara-negara seperti AS, Kanada, Jerman, Singapura. Sebagai tambahan, risiko dunia maya dan BI semakin saling terkait ketika serangan ransomware atau pemadaman IT yang tanpa disengaja sering mengakibatkan gangguan operasi dan layanan yang menelan biaya ratusan juta dolar.

“Bisnis di seluruh Asia Pasifik sangat prihatin tentang impak dari business interruption, yang dapat menjadi konsekuensi dari risiko teratas lainnya di kawasan ini, bencana dunia maya dan bencana alam. Risiko BI semakin meningkat oleh lingkungan bisnis global yang semakin saling terhubung dan global saat ini,” kata CEO Chang Tae Noh AGCS Korea Selatan.

“Hampir semua klaim asuransi properti besar termasuk elemen BI utama dan rata-rata klaim BI lebih dari $ 3 juta, hampir 40% lebih tinggi dari pada rata-rata kehilangan properti secara langsung. Ketika manufaktur bergeser ke timur dan dengan meningkatnya frekuensi aktivitas bencana alam di wilayah tersebut, Orang-orang Asia Pasifik semakin terekspos terhadap kerugian-kerugian ini yang mencerminkan pentingnya bagi perusahaan untuk mengadopsi pendekatan holistik terhadap manajemen risiko,”

Cyber – Peningkatan Kesadaran, Pertumbuhan Kerugian

Insiden dunia maya terus menjadi wailayah yang diperhatikan bagi bisnis Korea Selatan. Negara-negara dengan ketegangan regional telah ditemukan lebih mungkin terkena dampak serangan cyber yang ditargetkan, dan Korea Selatan mengalami jumlah serangan tertinggo keenam di dunia pada tahun 2017 [1]. Hal tersebut tidak mungkin membaik di masa depan, karena jumlah serangan cyber di seluruh dunia berlipat dua kali pada tahun 2017 menjadi 160.000, menurut Online Trust Alliance [2]. Menurut analisis AGCS terhadap klaim industri asuransi selama lima tahun terakhir, rata-rata kerugian yang diasuransikan dari insiden cyber sekarang lebih dari € 2 juta, dibandingkan dengan hampir € 1,5 juta dari klaim rata-rata untuk insiden kebakaran / ledakan.

Demikian juga, kekhawatiran terhadap insiden cyber semakin global, diikuti momen bersejarah pada kegiatan tahun 2018. Kejahatan dunia maya kini menelan biaya sekitar $ 600 miliar setahun – naik dari $ 445bn pada tahun 2014 [3]. Ini dibandingkan dengan kerugian ekonomi rata-rata 10 tahun dari bencana alam sebesar $ 208bn [4] – tiga kali lipat.

“Perusahaan perlu merencanakan berbagai skenario dan pemicu gangguan, karena di sinilah paparan besar mereka berada dalam masyarakat jaringan saat ini,” kata Chris Fischer Hirs, CEO AGCS.

“Risiko gangguan dapat bersifat fisik, seperti kebakaran atau badai, atau virtual, seperti pemadaman IT, yang dapat terjadi melalui tindakan jahat dan tidak disengaja. Mereka bisa berasal dari operasi mereka sendiri tetapi juga dari pemasok perusahaan, pelanggan atau penyedia layanan IT. Apa pun pemicunya, kerugian finansial bagi perusahaan disusul kemaceten bisa jadi sangat dahsyat. Solusi manajemen risiko baru, tool analitik dan kemitraan inovatif dapat membantu untuk lebih memahami dan mengurangi berbagai risiko BI modern dan mencegah kerugian sebelum terjadi.”

Risiko lingkungan (#7 dengan 17% tanggapan) dan kehilangan reputasi atau nilai merek (#9 dengan 11% tanggapan) adalah pendatang baru dalam 10 risiko teratas untuk bisnis Korea Selatan.

Informasi lebih lanjut tentang temuan Allianz Risk Barometer 2019, termasuk hasil global, tersedia di sini:

Tentang Allianz Global Corporate & Speciality

Press Release Disclaimer


[1] Symantec, Internet Security Threat Report Vol 23

[2] Online Trust Alliance, Cyber Incidents Trends Report, January 2018

[3] Center for Strategic and International Studies, Economic Impact of Cybercrime — No Slowing Down

[4] Swiss Re, Preliminary sigma estimates for  2018