SINGAPURA – Media OutReach – Microsoft AI for Accessibility (AI4A) Hackathon 2023 merupakan acara tahunan bagi para tim di Asia Pasifik untuk memecahkan masalah dan membangun solusi bagi masyarakat yang lebih inklusif dan mudah diakses. Pada tahun 2023, 119 tim mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam menciptakan aplikasi yang dapat menjawab tantangan nyata bagi para penyandang disabilitas.

Tim Indonesia Prambanan dari Telkom University mengembangkan Katakan AI (yang diterjemahkan menjadi ‘Say AI” dalam bahasa Indonesia), solusi satu-satunya untuk memberdayakan orang-orang yang mengalami gangguan pendengaran agar dapat berkomunikasi secara virtual dengan lebih efektif.

Menggabungkan fitur-fitur Azure Cognitive Services, Microsoft Translator, dan AI chat box, tim ini merancang aplikasi platform desktop dan seluler yang berdiri sendiri, serta plug-in browser untuk alat rapat virtual lainnya. Dengan kerja hybrid yang akan terus berlanjut, solusi all-in-one ini bertujuan untuk membantu mereka menikmati lingkungan kerja yang lebih efisien.

Di Filipina, Tim Cognitics dari Lyceum of the Philippines University – Batangas menciptakan gelang pintar [yang diletakkan di pergelangan tangan] untuk memberikan obat secara proaktif melalui teknologi psikometri. Memadukan AI dengan teknologi psikometri, produk tanggap darurat ini menyediakan cara cepat untuk mendeteksi keadaan darurat dan memberikan obat yang diperlukan.

Tim A-EYE dari Universiti Teknologi Malaysia mengembangkan prototipe aplikasi untuk membantu pejalan kaki yang memiliki gangguan penglihatan melintasi jalan dan menavigasi lalu lintas dengan aman. Dengan menggunakan Azure Custom Vision, prototipe yang berfungsi ini memberikan peringatan kepada para penyandang tunanetra agar tidak bertabrakan dengan suatu objek.

National University of Singapore, School of Computing Team WRAP mengembangkan NAVI, sebuah aplikasi navigasi yang dirancang untuk memberdayakan individu dengan gangguan penglihatan agar dapat melakukan perjalanan dengan percaya diri. NAVI menawarkan petunjuk arah rute yang dapat didengar dan memanfaatkan teknologi AI untuk mendeteksi penghalang dan marka jalan secara real-time melalui kamera smartphone. Selain itu, aplikasi ini menerima input suara untuk kontrol yang nyaman dan menyediakan antarmuka yang ramah pengguna dengan layar besar dan umpan balik yang dapat didengar, memastikan kemudahan penggunaan bagi tunanetra.

Dari Sri Lanka, Tim Hear Me, Institut Teknologi Informasi Sri Lanka memperkenalkan Hear Me, sebuah aplikasi belajar mandiri berbasis AR untuk anak-anak dengan gangguan pendengaran. Platform interaktif ini menyediakan lingkungan belajar yang kaya yang meningkatkan kemampuan komunikasi dan perkembangan kognitif, yang terbukti menjadi sumber daya yang sangat berharga bagi anak-anak yang berkomunikasi melalui bahasa isyarat.

Di Thailand, Tim DEVA dari Universitas Teknologi King Mongkut Thonburi mempresentasikan Neon, sebuah generator presentasi berkemampuan AI untuk membantu para penyandang tunanetra, yang menyoroti pengaruh teknologi yang sangat besar dalam meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup para penyandang tunanetra.

Tim ATP dari Royal Melbourne Institute of Technology di Vietnam memperkenalkan AI SpeechCompanion, sebuah aplikasi yang mendukung orang-orang yang gagap. Solusi ini menciptakan pengalaman yang dipersonalisasi yang disesuaikan dengan kemampuan setiap orang dengan memungkinkan mereka untuk membuat catatan, berlatih berbicara, dan menerima semangat. Hal ini akan memungkinkan individu yang gagap menjadi lebih percaya diri, memberdayakan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

“Dengan lebih dari 1,3 miliar penyandang disabilitas di dunia dan 690 juta di Asia Pasifik, memastikan aksesibilitas terhadap teknologi menjadi hal yang sangat mendesak. AI inklusif memberdayakan penyandang disabilitas, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan interaksi sosial. Hal ini mendorong kesempatan yang sama, mengurangi bias, dan memecah ketidaksetaraan sistemik. Saya sangat bangga melihat generasi wirausahawan dan pengembang berikutnya merangkul inklusivitas melalui program-program seperti Microsoft AI for Accessibility Hackathon. Bersama-sama, kami memastikan semua orang dapat berkembang, berkontribusi, dan mendapatkan manfaat dari potensi transformatif AI,” ujar Pratima Amonkar, Chair for D&I and Accessibility untuk Microsoft Asia Pasifik.

Pernyataan masalah dan menjuarai hackathon

Enam organisasi nirlaba dari tujuh negara tersebut memberikan pernyataan masalah untuk diretas oleh para mahasiswa. Para tim membangun solusi inovatif dan aplikasi berkemampuan AI di Microsoft Azure dan mempresentasikannya di hadapan panel juri yang berasal dari bidang teknis dan non-teknis. Tim pemenang di setiap negara mampu menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai aksesibilitas, merancang solusi inovatif yang orisinil, dan menunjukkan kesediaan untuk mengambil risiko dalam upaya menciptakan nilai bagi para penyandang disabilitas. Para tim harus menunjukkan dampak nyata, model bisnis, dan rencana masuk ke pasar untuk meluncurkan solusi mereka.

Dikategorikan ke dalam Kehidupan Sehari-hari, Kemampuan Kerja, Komunikasi dan Pendidikan, mereka memberikan siswa skenario dan situasi otentik yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas. Tantangan Kehidupan Sehari-hari termasuk rintangan yang tidak dapat dideteksi oleh tongkat putih, menggunakan mesin ATM otomatis, aplikasi digital, peralatan memasak, dan perawatan pribadi. Di bawah Employability, pernyataan tersebut mencakup pencocokan pekerjaan, pelatihan, penilaian, dukungan wawancara, dan navigasi tempat kerja. Di bidang Komunikasi, para mahasiswa mengeksplorasi cara menjelaskan ekspresi wajah dalam konferensi video, mengotomatisasi terapi wicara, dan di bidang Pendidikan, membuat pembelajaran dapat diakses oleh masyarakat pedesaan.

Keterangan Foto: Tim Prambanan dari Universitas Telkom di Indonesia pada Microsoft AI for Accessibility Hackathon 2023