TUNIS, TUNISIA & LOS ANGELES, AMERIKA SERIKAT – Newsaktuell – Sebuah studi baru dari Democracy News Alliance, memperingatkan, lanskap politik Tunisia sedang mengalami pergeseran yang berbahaya. Setelah dirayakan sebagai kisah sukses demokrasi Musim Semi Arab, negara ini sekarang menghadapi kemungkinan suram untuk kembali menjadi otoriter.

Menjelang pemilihan umum pada bulan Oktober 2024, para analis memperingatkan bahwa Presiden Kaïs Saïed mungkin akan memperketat cengkeramannya pada kekuasaan, mengancam untuk membalikkan keuntungan yang diperoleh dengan susah payah dari Revolusi Melati tahun 2011.

Namun, apa yang telah membawa Tunisia ke titik ini? Dan mengapa stagnasi ekonomi menghambat aspirasi demokrasinya? Para peneliti di balik laporan Berggruen Governance Index (BGI) yang baru menganalisis apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pada akhir 2010, protes massa meletus di Tunisia, yang menjadi awal dari Revolusi Melati. Gerakan ini, yang dipicu oleh protes publik terhadap pemerintahan otokratis Zine El Abidine Ben Ali, menjadi percikan bagi Musim Semi Arab yang lebih luas yang melanda Afrika Utara dan Timur Tengah. Sementara banyak negara tetangga segera mengalami perang saudara atau kontra-revolusi, Tunisia muncul sebagai mercusuar harapan.

Tahun-tahun awal periode pasca-revolusi Tunisia ditandai dengan gelombang reformasi politik. Demokrasi yang baru terbentuk ini mendapat nilai bagus dalam Indeks Akuntabilitas Demokrasi BGI, dan kapasitas negara mengalami peningkatan yang signifikan seiring upaya negara ini membersihkan diri dari korupsi dan inefisiensi di masa lalu. Pada tahun 2021, Tunisia telah mengukuhkan posisinya sebagai salah satu dari sedikit negara demokrasi di kawasan ini. Namun, di bawah permukaan, tantangan ekonomi tetap ada, meletakkan dasar bagi krisis yang sedang terjadi.

Terlepas dari kemenangan politik, perjuangan ekonomi Tunisia belum selesai setelah revolusi. Sejak tahun 2010 dan seterusnya, meskipun demokrasi berkembang, penyediaan barang publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tetap kurang baik. Pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi, seperti yang ditunjukkan oleh tren PDB per kapita Tunisia yang mengecewakan dan peningkatan pengangguran dan kemiskinan yang mengkhawatirkan. Emigrasi terus meningkat.

Laporan Berggruen Governance Index memberikan gambaran yang jelas tentang dinamika ini. Meskipun skor akuntabilitas demokrasi Tunisia melonjak setelah tahun 2011, kapasitas fiskalnya goyah, turun ke titik terendah pada tahun 2021. Stabilitas politik tidak diterjemahkan ke dalam kemakmuran ekonomi, dan kegagalan untuk memberikan manfaat material kepada penduduk mengikis kepercayaan pada lembaga-lembaga demokrasi. Kekecewaan menyebar ketika warga negara menghadapi kesulitan yang sama di bawah sistem politik yang baru.

Menurut laporan tersebut, yang dibuat oleh para peneliti dari Luskin School of Public Affairs di University of California Los Angeles (UCLA), Berggruen Institute yang berbasis di Los Angeles, dan Hertie School, sebuah universitas di Berlin, Jerman, stagnasi ekonomi berakar pada faktor internal dan eksternal. Secara internal, pemerintah Tunisia berjuang untuk menstabilkan ekonomi pasca revolusi. Secara eksternal, penurunan investasi asing langsung (FDI) memperburuk situasi, karena para investor menjadi waspada terhadap lingkungan politik Tunisia yang rapuh. Laporan yang dibuat oleh BGI menunjukkan bahwa FDI, yang mencapai puncaknya pada hampir 9,5 persen dari PDB di bawah pemerintahan Ben Ali, anjlok setelah revolusi, dan hal ini berkontribusi pada memburuknya perekonomian Tunisia.

Presiden saat ini, Kaïs Saïed, seorang profesor hukum yang menjadi terkenal karena gelombang populis, berhasil meraih kemenangan dalam pemilu 2019. Terpilihnya Saïed menandakan pergeseran dalam lintasan politik Tunisia. Meskipun pada awalnya dirayakan karena menantang kaum elit, Saïed segera mulai mengikis fondasi demokratis yang telah mengangkatnya ke tampuk kekuasaan.

Pada tahun 2021, Saïed membekukan parlemen dalam apa yang oleh banyak orang disebut sebagai “kudeta otomatis”. Setahun kemudian, sebuah referendum konstitusional semakin memperluas kekuasaannya dengan mengorbankan cabang legislatif, yang memicu kekhawatiran akan kembalinya otoritarianisme. Organisasi-organisasi hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan mereka atas meningkatnya penggunaan penindasan, pemenjaraan para pemimpin oposisi, dan tindakan keras terhadap para migran. Menurut penelitian tersebut, demokrasi Tunisia, yang pernah dipuji, kini berada di ujung tanduk.

Penindasan politik di bawah pemerintahan Saïed telah menyiapkan suasana untuk pemilihan umum 2024 mendatang, yang menurut para analis akan menjadi formalitas belaka untuk melegitimasi cengkeramannya pada kekuasaan. Menurut laporan dari Human Rights Watch, kelompok-kelompok oposisi menghadapi pembatasan yang sangat ketat, dan salah satu kandidat bahkan menjalankan kampanyenya dari penjara.

Penindasan yang terus meningkat ini sangat mengkhawatirkan karena Tunisia sedang bergulat dengan krisis ekonomi yang semakin dalam. Penolakan pemerintah terhadap pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 2 miliar dolar AS pada tahun 2023, yang dikritik oleh Presiden Saïed sebagai “perintah”, secara luas dilihat sebagai langkah populis. Namun, penolakan tersebut semakin mengisolasi Tunisia dari dukungan keuangan internasional yang vital, sehingga Tunisia harus berjuang keras untuk mengatasi masalah ekonominya. Ketika warga negara mengalami peningkatan pengangguran, inflasi, dan kerawanan pangan, prospek untuk pemulihan demokrasi tampak suram.

Situasi di Tunisia memberikan pelajaran penting tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi. Menurut Berggruen Governance Index, negara-negara dengan demokrasi yang lebih kuat sering kali menikmati standar hidup yang lebih tinggi. Namun, dalam kasus Tunisia, demokrasi telah gagal memberikan keuntungan ekonomi yang diharapkan. Kegagalan ini sebagian disebabkan oleh kesulitan inheren yang dihadapi oleh negara-negara demokrasi yang sedang berkembang, di mana tekanan publik untuk konsumsi langsung dapat menghambat investasi jangka panjang yang diperlukan untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Selain itu, ketidakpastian ekonomi di Tunisia telah menghalangi para investor asing.

Kondisi ekonomi Tunisia yang genting telah memberikan konsekuensi langsung bagi warganya. Lapangan pekerjaan yang rentan meningkat, dan jumlah orang yang kekurangan gizi telah naik kembali ke tingkat yang belum pernah terjadi sejak revolusi. Krisis ekonomi telah memicu ketidakpuasan sosial, dan tanpa solusi yang jelas, negara ini berisiko mengalami ketidakstabilan lebih lanjut.

Situasi di Tunisia menggambarkan tantangan yang lebih luas yang dihadapi negara-negara demokrasi baru di seluruh dunia: kebutuhan untuk mewujudkan reformasi politik dan kemajuan ekonomi, tulis para peneliti dalam laporan mereka. Ketika pemerintah gagal meningkatkan standar hidup, warga negara bisa menjadi kecewa dengan demokrasi, dan menciptakan celah bagi para pemimpin otoriter untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.

Liputan lebih lanjut dari Democracy News Alliance dapat ditemukan di ruang berita digital DNA di https://www.presseportal.de/en/nr/174021

Teks ini dan materi yang menyertainya (foto dan grafis) merupakan tawaran dari Democracy News Alliance, sebuah kerjasama erat antara Agence France-Presse (AFP, Perancis), Agenzia Nazionale Stampa Associata (ANSA, Italia), The Canadian Press (CP, Kanada), Deutsche Presse-Agentur (dpa, Jerman), dan PA Media (PA, Inggris). Semua penerima dapat menggunakan materi ini tanpa perlu perjanjian langganan terpisah dengan satu atau beberapa lembaga yang berpartisipasi. Hal ini termasuk hak penerima untuk mempublikasikan materi tersebut dalam produk mereka sendiri.

Konten DNA adalah layanan jurnalistik independen yang beroperasi secara terpisah dari layanan lain dari lembaga-lembaga yang berpartisipasi. Konten ini diproduksi oleh unit editorial yang tidak terlibat dalam produksi layanan berita utama lembaga-lembaga tersebut. Namun demikian, standar editorial lembaga-lembaga tersebut dan jaminan mereka akan pelaporan yang sepenuhnya independen, tidak memihak dan tidak bias juga berlaku di sini.

Keterangan Foto: Dukungan untuk Presiden: Para pendukung Presiden Tunisia Kais Saied memegang gambarnya dalam sebuah unjuk rasa di Tunis, pada 25 Juli 2024, saat negara itu merayakan ulang tahun ke-67 berdirinya republik tersebut. (Foto oleh Fethi Belaid / AFP)