HONG KONG SAR – Media OutReach Newswire – Masa kecil yang bahagia dimulai dengan adanya ruang untuk mengeksplorasi, tumbuh, dan mengembangkan keterampilan emosional serta sosial. Kreasi seni adalah salah satu jalur menuju dunia batin anak, mendorong mereka untuk bebas mengekspresikan pikiran dan perasaan, sekaligus membangun ketahanan dan pola pikir positif yang dibutuhkan untuk masa depan. Program Healing Heart and Mind dari Save the Children Hong Kong tidak hanya menjangkau sekolah dasar, tetapi juga aktif bekerja sama dengan mitra komunitas, termasuk mendirikan titik layanan di akar rumput seperti Community Living Room di Sham Shui Po, untuk memberikan dukungan psikologis dan peluang bagi anak-anak agar berkembang melalui seni.

Keterangan Foto: Cara, anak berusia 8 tahun* (kanan), mengekspresikan perasaannya melalui kreasi seni.

“Anak Dewasa Kecil” di Rumah Menemukan Kembali Masa Kecilnya di Community Living Room

Bagi warga lokal Sham Shui Po, Community Living Room adalah tempat untuk bertemu, berinteraksi, dan membangun kehidupan sosial. Namun bagi Cara yang berusia delapan tahun, tempat ini hampir seperti rumah kedua. Cara dan keluarganya tinggal di rumah sempit berukuran sekitar 150 kaki persegi. Dengan ruang yang sangat terbatas, ketiga adik-adiknya lebih banyak berada di dalam rumah, sementara Cara pergi ke Community Living Room setiap hari setelah sekolah untuk mengerjakan PR dan bermain dengan teman-teman, seringkali tetap di sana sampai hampir tutup. Dia mengungkapkan bahwa sejak adik-adiknya lahir, perhatian yang diterimanya dari orang tua sangat berkurang. Kadang-kadang, dia bahkan harus mengambil peran sebagai pengasuh, sebuah tanggung jawab yang perlahan mengubah jalannya masa kecilnya.

Ibu Cara menyadari betapa jarangnya dia berbicara dengan putrinya akhir-akhir ini. “Waktu untuk mengobrol tentu saja jauh berkurang dibandingkan saat dia masih anak tunggal,” ujarnya. “Sekarang setelah dia punya adik laki-laki dan perempuan, waktu yang bisa saya berikan untuknya secara alami berkurang.” Dia memahami di lubuk hati bahwa putrinya membutuhkan perhatian dan teman, namun tekanan besar mengurus anak membuatnya merasa tak berdaya.

Anak laki-laki berusia lima tahun dari ibu tersebut mengidap ADHD dan membutuhkan perhatian terus-menerus, sehingga ibunya harus mendampinginya saat pelajaran berlangsung. Anak perempuan berusia tiga tahun dan anak laki-laki berusia dua tahun juga masih sangat kecil dan perlu diawasi sepanjang waktu. Sang ibu terus bergerak tanpa jeda untuk beristirahat. Meskipun harus terus-menerus mengurus anak-anaknya yang lebih kecil, ibu Cara berusaha keras membawa mereka ke Community Living Room untuk menemui Cara, menciptakan momen keluarga yang paling berharga. Namun dia merasa kewalahan dan tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Pikiran bahwa anak-anaknya membutuhkan dirinya adalah yang membuatnya bertahan; dia hanya bisa menguatkan diri dan terus menjalani hari-harinya. Sementara itu, sang ayah bekerja lama untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dengan sangat sedikit waktu libur untuk menikmati kebersamaan keluarga. Keputusasaan dan perjuangan ini mencerminkan realita banyak keluarga dengan anak berkebutuhan khusus—orang tua yang sangat ingin merawat setiap anak secara setara tetapi karena keterbatasan sumber daya dan waktu, harus membuat kompromi sulit antara ideal dan kenyataan.

Merasa kurang mendapat perhatian dari orang tua, Cara menyebut dirinya sendiri sebagai “hantu”. “Saya seperti tidak ada,” katanya, “hampa—tidak ada yang memperhatikan saya.” Kadang dia merasa kesal pada adik-adiknya karena mengambil perhatian orang tua, tetapi perasaan ini bukan sekadar menyalahkan. Itu berasal dari konflik dan perjuangan batin yang dalam. Pekerja sosial di Community Living Room, yang sering bertemu Cara, mengamati bahwa sebagai kakak perempuan, dia sangat sayang pada adik-adiknya. Saat ibunya kewalahan, dia secara proaktif membantu mengurus dan bermain bersama mereka. Dia memahami betapa lelahnya ibunya dan tahu adik-adiknya butuh perhatian, tetapi pada usia delapan tahun, dia tetap merindukan kasih sayang dan perhatian orang tua. Posisi sulit—menjadi sosok yang bijak sekaligus anak yang masih butuh perhatian—menyebabkan gejolak batin yang besar bagi Cara.

Seni Ekspresif sebagai Kunci Membuka Perasaan Batin dan Melepas Emosi

Pekerja sosial mengenang bahwa awalnya Cara kesulitan mengekspresikan emosinya. Walaupun dia merindukan perhatian orang tua, dia menyimpan perasaannya dan terkadang sembunyi dan menangis. Satu-satunya aktivitas yang memberinya kenyamanan adalah menggambar di ponselnya, mungkin itulah salah satu alasan dia mendaftar di program Healing Heart and Mind dari Save the Children Hong Kong.

Melalui 8 sesi berbasis seni, program ini mendorong anak-anak untuk mengekspresikan emosi mereka lewat seni, sambil belajar mengenali dan mengelola berbagai perasaan. Cara mengatakan kelas-kelas itu membantunya untuk bebas berkarya dan mengekspresikan diri, yang membuatnya “sangat bahagia”—dan dia masih ingat jelas bahkan enam bulan kemudian. Dia belajar cara mengekspresikan diri saat diperlukan dan menggunakan alat seperti “botol penenang” untuk meredakan kecemasan. “Saat saya sedih, saya bisa menulisnya dan memasukkannya ke dalam kotak,” ujarnya.

Cara juga belajar menghadapi perasaan tidak bahagianya dengan pola pikir yang lebih positif. Dia berkata, “Setelah kamu belajar mengelola perasaanmu, kamu tidak akan melampiaskan kemarahan secara verbal pada orang lain. Sekarang, saya berusaha mengingat apa yang saya pelajari, saat-saat bahagia, apa yang guru saya katakan, dan kenangan tentang ayah, ibu, dan kakek saya. Saya berusaha tidak terjebak dalam hal-hal yang membuat sedih, karena itu hanya membuat perasaan jadi lebih buruk.”

Mengekspresikan perasaan lewat seni juga memberi kesempatan bagi orang tua untuk melihat dan menghargai bakat anak-anak mereka. Salah satu anak di kelas mengungkapkan bahwa biasanya mereka tidak diizinkan membawa pulang hasil karya dari kelas seni di sekolah, sehingga keluarga mereka tidak pernah melihat apa yang telah dibuat. Bagi beberapa anak, bisa membawa pulang hasil karya adalah kesenangan sederhana. “Ibu dan ayah saya sekarang memuji saya, itu membuat saya sangat bahagia,” kata Cara. “Ibu saya tidak terlalu pandai menggambar, tapi saat melihat karya saya, dia menyadari betapa bagusnya saya menggambar.” Kepercayaan diri baru dalam mengekspresikan diri ini juga terbawa ke aspek lain dalam kehidupan Cara. Baru-baru ini dia menulis sandiwara sendiri dan berinisiatif mengajak pekerja sosial serta teman-temannya dari Community Living Room untuk berlatih bersama. Bersama-sama mereka menampilkan pertunjukan yang luar biasa, memungkinkan dia mengekspresikan jati dirinya melalui kreativitas.

Kalina Tsang, CEO Save the Children Hong Kong, terharu saat merenungkan program Healing Heart and Mind, “Setiap anak menyimpan dunia yang penuh warna di dalam dirinya—tetapi terkadang, perjuangan hidup membungkam suara mereka.” Dia menjelaskan, program ini berfungsi seperti kunci bagi anak-anak, membuka pintu untuk mengekspresikan diri lewat seni. “Kami yakin dengan membantu anak-anak belajar berdamai dengan emosi mereka, mereka akan mampu menghadapi tantangan masa depan dengan sikap yang lebih positif dan tangguh, tumbuh menjadi pribadi yang sehat dan bahagia.”

Catatan: *Nama telah diubah untuk melindungi identitas.

https://savethechildren.org.hk/en/
https://www.linkedin.com/company/save-the-children-hong-kong
https://www.facebook.com/savethechildrenhk
https://www.instagram.com/savethechildrenhk/
YouTube: https://www.youtube.com/user/savehk