DHAKA, BANGLADESH – Media OutReach Newswire – Di seluruh Asia Selatan, angka kekerasan seksual yang sangat tinggi berbanding terbalik secara mencolok dengan tingkat pemidanaan yang sangat rendah. Para penyintas dihadapkan pada hambatan besar dalam memperoleh keadilan, mulai dari lemahnya penegakan hukum, lamanya proses penyelidikan dan persidangan, hingga minimnya dukungan hukum yang berorientasi pada penyintas dan mudah diakses.
Program bantuan hukum yang dikelola negara di Bangladesh, India, Nepal, dan Sri Lanka memang telah dibentuk untuk membantu komunitas yang terpinggirkan. Namun, kebutuhan spesifik para penyintas kekerasan seksual kerap diabaikan, membuat banyak dari mereka tersisih atau kesulitan menavigasi sistem hukum yang kompleks dan sering kali tidak bersahabat.
Sebuah advocacy brief terbaru dari South Asian Movement for Accessing Justice (SAMAJ) mengungkapkan berbagai celah dalam sistem bantuan hukum bagi penyintas, sekaligus memetakan langkah-langkah reformasi ke depan. Bertajuk Exploring Legal Aid Mechanisms: Lessons from South Asia, dokumen ini memberikan panduan praktis bagi pemerintah, penyedia bantuan hukum, lembaga peradilan, dan organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan akses terhadap keadilan bagi penyintas kekerasan seksual dan keluarga korban.
Brief ini didasarkan pada temuan laporan penting sebelumnya, Sexual Violence in South Asia: Legal and Other Barriers to Justice for Survivors, yang disusun bersama oleh Equality Now (yang kini menjadi Sekretariat SAMAJ). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hukum terkait kekerasan seksual seringkali diterapkan secara lemah dan tidak konsisten, sementara para penyintas justru kerap menjadi korban kembali—baik oleh komunitas maupun oleh sistem peradilan pidana itu sendiri. Kondisi ini semakin meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, serta menjauhkan mereka dari keadilan yang layak.
SAMAJ juga menyoroti rendahnya kesadaran publik tentang hak-hak hukum dan layanan yang tersedia. Proses hukum umumnya panjang, membingungkan, dan tidak memperhitungkan kebutuhan khusus para penyintas. Sistem bantuan hukum yang kekurangan sumber daya juga tidak memiliki pendanaan dan tenaga terlatih yang memadai untuk memberikan dukungan berbasis hak asasi secara tepat waktu. Wilayah pedesaan menghadapi kekurangan yang sangat parah dalam hal pengacara bantuan hukum berkualitas, menyebabkan banyak penyintas tidak mendapatkan bantuan yang efektif.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang saling bertumpuk—berdasarkan gender, usia, disabilitas, kasta, etnis, status sosial-ekonomi, orientasi seksual, dan agama—harus diatasi melalui layanan bantuan hukum yang dirancang secara inklusif dan responsif terhadap kebutuhan kelompok rentan, termasuk komunitas Dalit dan masyarakat adat.
SAMAJ mendesak pemerintah-pemerintah di Asia Selatan untuk memperkuat implementasi hukum, memberlakukan reformasi hukum guna menutup celah perlindungan, serta meningkatkan investasi dalam layanan bantuan hukum yang berpusat pada penyintas dan mudah diakses secara lokal.
Untuk mewujudkan akses keadilan yang nyata, negara perlu memperluas kesadaran publik tentang bantuan hukum melalui kegiatan penyuluhan berbasis komunitas. Negara juga harus memprioritaskan inklusivitas dan membangun kemitraan erat antara institusi bantuan hukum dan organisasi masyarakat sipil, karena kolaborasi terbukti mampu meningkatkan efektivitas pengembangan dan penyediaan layanan. Pelatihan profesional hukum dan pemantauan sistem bantuan hukum juga menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan.

Recent Comments