KUALA LUMPUR, MALAYSIA – Media OutReach Newswire – Pertumbuhan teknologi keuangan, termasuk blockchain dan mata uang kripto, bergantung pada seberapa baik sistem hukum dapat beradaptasi. Secara global, status hukum mata uang kripto masih ambigu karena sebagian besar negara masih perlu menetapkan undang-undang yang komprehensif untuk mengaturnya.

Akan tetapi, hanya beberapa negara yang secara tegas melarang penambangan kripto. Sementara lanskap regulasi global terus berkembang, Malaysia dan Singapura menawarkan pendekatan unik terhadap pengawasan mata uang kripto. Dalam artikel ini, para ahli Octa Broker mencermati lebih dekat status terkini dan prospek kripto di negara-negara tersebut.

Popularitas

Malaysia dan Singapura sama-sama memainkan peran penting dalam lanskap keuangan digital Asia Tenggara. Pada tahun 2023, Malaysia berada di peringkat 30 negara teratas dalam adopsi kripto berdasarkan volume transaksi, dengan volume perdagangan bursa peer-to-peer (P2P) yang menempatkannya di peringkat ke-40 secara global.

Adapun Singapura, saat ini merupakan pemimpin regional dalam adopsi mata uang kripto, dengan 49% penduduknya mengetahui mata uang kripto dan 12% secara aktif memilikinya. Pada tahun 2023, negara tersebut menarik pendanaan kripto sebesar $627 juta, didukung oleh tenaga kerja terampil dan kebijakan fiskal yang menguntungkan.

Platform seperti Octa, broker dengan lisensi yang diakui secara global, memanfaatkan minat yang meningkat terhadap kripto dengan menawarkan perdagangan 24/7 berbiaya rendah, termasuk akhir pekan, yang memudahkan investor untuk terjun ke dunia kripto.

Regulasi dan Prospek Masa Depan

Malaysia mengatur aset digital melalui Peraturan Pasar Modal & Layanan (Mata Uang Digital dan Token Digital) 2019. Meskipun mata uang kripto diklasifikasikan sebagai sekuritas, mata uang tersebut tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah oleh Bank Negara Malaysia (BNM), bank sentral negara tersebut. Perusahaan yang terlibat dengan mata uang digital atau token diharuskan untuk mendaftar ke otoritas setempat. Peraturan tersebut juga memungkinkan perusahaan untuk mengumpulkan dana melalui penerbitan token tetapi memerlukan uji tuntas dan kepatuhan terhadap kebijakan anti pencucian uang (AML) dan anti pendanaan terorisme.

“Meskipun ada peraturan ini, kerangka hukum Malaysia masih kurang transparan dan konsisten, sehingga menimbulkan risiko bagi bisnis yang mencoba menavigasi lanskap yang kompleks. Seiring meningkatnya popularitas kripto, kebijakan baru mungkin muncul,” kata Kar Yong Ang, analis pasar keuangan pialang Octa.

Berbeda dengan negara tetangganya, Singapura sudah memiliki kerangka regulasi yang kuat yang meningkatkan statusnya sebagai pusat keuangan global. Undang-Undang Layanan Pembayaran (PSA), yang diperkenalkan pada tahun 2019, berfungsi sebagai kerangka hukum utama yang mengatur token pembayaran digital (DPT). Undang-undang ini mewajibkan lisensi untuk berbagai aktivitas seperti mengoperasikan bursa dan menyediakan dompet digital.

Selain itu, Securities and Futures Act (SFA) mengatur DPT yang menyerupai produk pasar modal, sementara Commodity Trading Act berlaku untuk DPT yang didukung aset, memperlakukannya sebagai komoditas. Pendekatan regulasi yang komprehensif ini memastikan lingkungan yang terstruktur untuk aktivitas mata uang kripto, mendorong inovasi sekaligus menjaga keamanan.

Infrastruktur telekomunikasi Singapura yang kuat, tenaga kerja yang sangat terampil, dan kebijakan fiskal yang menguntungkan, seperti tidak adanya pajak keuntungan modal, menjadikannya pusat yang menarik bagi inovasi digital. Komunitas perusahaan rintisan, akselerator, dan inkubator yang berkembang pesat mendorong inovasi di sektor kripto.

Menurut Statista, pasar kripto negara tersebut diproyeksikan tumbuh sebesar 8,79% per tahun dari tahun 2024 hingga 2028, mencapai nilai $479,5 juta pada tahun 2028. ‘Pertumbuhan tersebut didukung oleh investasi proaktif pemerintah Singapura dalam teknologi blockchain, penelitian, dan inovasi fintech yang mengeksplorasi aplikasi blockchain baru’, kata Kar Yong Ang, analis pasar keuangan pialang Octa.

Saat Malaysia dan Singapura menyusun dan menyempurnakan kebijakan regulasi mata uang kripto masing-masing, strategi mereka menyoroti keseimbangan yang berbeda antara inovasi dan keamanan. Malaysia menghadapi tantangan dalam kejelasan regulasi, sementara Singapura memperkuat posisinya sebagai negara yang ramah terhadap mata uang kripto. Lanskap yang berkembang di negara-negara ini akan membentuk masa depan adopsi mata uang kripto di Asia Tenggara, memberikan wawasan berharga bagi negara-negara lain yang ingin merangkul revolusi digital.