TAIPEI, TAIWAN – Media OutReach – Webinar ‘Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan’ berlansung sukses pada tanggal 18 Maret lalu, seminar yang berfokus pada kebijakan dan program untuk membantu perempuan mencapai kesetaraan di masa depan pasca pandemi diselenggarakan oleh Yayasan Taiwan untuk Promosi dan Pengembangan Hak Perempuan dan Kementerian Luar Negeri, dengan dukungan dari Kantor Ekonomi dan Kebudayaan Taiwan di New York.

Narasumber Webinar Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

“Perempuan menanggung beban krisis COIVD-19. Namun, model baru bekerja dari jarak jauh, dan akses yang lebih besar ke teknologi dan internet mungkin menunjukkan bagaimana kesenjangan gender dapat dijembatani,” kata Denise Scotto, wakil presiden Federasi Internasional Perempuan dalam Karir Hukum, saat membuka Webinar Pemberdayaan Ekonomi Wanita.

Demikian pesan yang disampaikan oleh pembicara di webinar Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan, yang berlangsung paralel dengan Komisi PBB tentang Status Perempuan dan selama perayaan Bulan Sejarah Perempuan.

Puncak dari acara tersebut, Menteri Digital Taiwan Audrey Tang membahas bagaimana membuat Lima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kesetaraan gender terlaksana baik di Taiwan.

Tang menunjukkan bahwa Taiwan adalah negara pertama di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis, Hari Kesetaraan Gaji telah dimajukan pada 20 Februari, dan lebih dari 41% legislator di parlemen Taiwan adalah perempuan.

Menteri transgender pertama Taiwan juga membuktikan bahwa dia tidak pernah mengalami diskriminasi dalam pekerjaannya. Namun, masih ada banyak hal yang harus dilakukan Taiwan. “Kurang dari seperempat mahasiswa STEM (Science, Technology, Engineering, Math) di perguruan tinggi adalah perempuan,” kata Tang.

Prestasi Taiwan dalam mengendalikan pandemi telah didokumentasikan dengan baik. Namun satu aspek yang belum banyak dilaporkan adalah aspek gender untuk pengendalian penyakit.

Tang menyoroti contoh seorang anak laki-laki Taiwan yang dibully karena datang ke sekolah dengan masker merah jambu ketika persediaan medis terbatas. Anak laki-laki itu menelepon hotline pemerintah untuk mengajukan keluhan, dan keesokan harinya menteri kesehatan dan pejabat tingginya semua mengenakan masker merah muda selama konferensi pers harian.

“Menteri kesehatan mengatakan tidak masalah bagi seorang anak laki-laki untuk memakai warna pink, dan menambahkan bahwa karakter kartun favoritnya adalah Pink Panther,” ungkap Tang.

Tang menyebutkan, Kemajuan teknologi juga membantu menyamakan kedudukan bagi perempuan muda, berbagi satu inisiatif melawan sedotan plastik dimulai oleh remaja perempuan Taiwan berusia 16 tahun.

“Dia tidak perlu menunggu sampai berusia 18 tahun atau bergabung dengan partai politik. Semakin banyak perempuan dan laki-laki muda yang mencari partisipasi elektronik dan kreasi bersama lintas sektor untuk menciptakan inisiatif mereka sendiri,” kata Menteri Digital.

Sementara Menteri Negara Swedia untuk kesetaraan gender, Karin Strandås, berfokus pada penerapan perspektif gender dalam kebijakan dan penganggaran pemerintah. “Kita juga harus fokus pada peran pria dan remaja sebagai pendorong perubahan. Pria dan remaja pria dalam semua keragaman mereka harus menjadi bagian dari transformasi norma dan ketidaksetaraan gender,” beber Strandås.

Menanggapi pandemi, Strandas mengatakan, Ini tentang membangun dunia yang lebih baik dan masa depan yang lebih baik untuk semua orang. “Meskipun memungkinkan bagi laki-laki untuk mengambil cuti sebanyak perempuan, Swedia belum mencapai kesetaraan penuh di tempat kerja. Reformasi diperlukan bagi perempuan untuk memasuki pasar tenaga kerja, ” tegasnya.

Strandås mencatat hubungan antara ketidaksetaraan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga. “Lebih sulit untuk menghindari hubungan kekerasan jika Anda bergantung pada pasangan Anda,” kata sekretaris negara.

Sedangkan Duta Besar Taiwan, Lin Ching-Yi berbicara tentang peran wanita dalam pembuatan hukum. “Semakin banyak partisipasi perempuan dalam politik, maka akan semakin banyak pembuatan kebijakan berbasis gender,” kata Lin.

Berbicara tentang bahaya yang dihadapi perempuan di garis depan pandemi sebagai perawat dan pembersih, Lin mengatakan awalnya dia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Untungnya, keberhasilan Taiwan dalam pengendalian pandemi sebagian besar bergantung pada pembuatan kebijakan gender. “Semua kebijakan didasarkan pada kesetaraan gender, jadi hanya sepuluh perawat yang terinfeksi COVID-19 di Taiwan,” imbuh Lin.

Pembicara lain berbagi pengalaman mereka dalam memajukan hak ekonomi dan kemandirian perempuan, berinvestasi dalam pemberdayaan perempuan, dan mendukung perempuan yang terpinggirkan untuk menghasilkan, menabung, dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Algene Sajery, wakil presiden Kantor Urusan Eksternal di Perusahaan Keuangan Pembangunan Internasional AS, menguraikan Inisiatif Wanita yang telah mengkatalisasi lebih dari US $ 7 miliar investasi dalam proyek-proyek yang dimiliki oleh wanita, dipimpin oleh wanita, atau menyediakan produk atau layanan yang memberdayakan wanita.

Iliriana Gashi, direktur eksekutif Women 4 Women Kosova, berbicara tentang upaya organisasinya untuk membiayai wanita yang terkena dampak pandemi secara ekonomi, bekerja sama dengan pemerintah dan perusahaan internasional untuk membantu wanita menjalankan bisnis kecil.

Memberi hak dan lebih banyak kekuatan ekonomi kepada wanita juga baik untuk pria. “Kami adalah satu keluarga manusia, baik pria maupun wanita,” kata Scotto, “jadi semua umat manusia diberdayakan dengan memberdayakan wanita.”

Mengakhiri sesinya, Lin mengatakan usai pandemi, masyarakat global akan menghadapi norma-norma baru. Akan ada peluang untuk membangun model ekonomi yang berbeda melalui internet atau model komunitas, dan menciptakan cara baru bagi perempuan untuk berpartisipasi secara setara.